Sebuah Pertolongan


Sebuah Pertolongan


Jam sudah menunjukan pukul dua kurang seperempat siang. Caka semakin menambah kecepatan mengendarai sepeda ontanya. Seperti biasa tiap hari Jumat, ia selalu mengikuti latihan pramuka di sekolah. Anak ini memang aktif dalam kegiatan pramuka. Tak pernah ia meninggalkan latihannya.
Sesekali melirik ke jam tangannya, ia takut kalu nanti terlambat, dapatlah dibayangkan hukuman yang sangat berat, yaitu push-up sebanyak 30 kali ditambah dengan makian kakak-kakak pembina. Tapi ia yakin hal tersebut dimaksudkan untuk melatih kedisiplinan serta mental dan bukan untuk membuat malu orang.
Di tengah-tengah perjalanan ,tiba-tiba…
“Bruk!!!” sebuah kendaraan yang berada di belakangnya menabrak orang tua yang akan menyebrang jalan.
Melihat kejadian itu, Caka tidak langsung menghentikan sepeda, tetapi hanya mengurangi kecepatan saja. Dalam hati terjadi pertempuran antara menolong orang tua itu atau berlatih pramuka, ia bimbang.
“Ayo cepat, sudah jam tiga kurang lima, nanti kamu terlambat! Bukankah kamu seorang pramuka? Pramuka yang baik harus suka menolong sesama. Seorang pramuka harus berani menghadapi tantangan. Pramuka harus bertanggung jawab, apalagi ini menyangkut keselamatan orang. Ayo cepat hentikan sepedamu dan tolonglah orang tua itu!” bisik hati Caka yang lain.
Akhirnya Caka memutuskan untuk menolong orang tua itu. Ia teringat akan kata-kata kakak pembina yang selalu berpesan agar seorang pramuka harus cepat, tegas dan tanggap terhadap sekitarnya dan pramuka harus suka menolong orang lain yang berada dalam kesulitan. Hal ini membuatnya mantap untuk menolong orang tua tersebut, walau ia tahu resikonya bila terlambat.
Dengan cepat Caka menyandarkan sepeda, lalu berlari mendekati orang tua itu. Lukanya memang tak terlalu parah, tapi orang tua itu perlu di tolong, karena tidak ada orang lain yang lewat, hanya kendaraan yang lalu lalang tanpa memperdulikannya. Orang yang menabrakpun tidak berhenti tapi malah semakin ngebut.
“Benar-benar tidak punya prikemanusiaan,” gerutu Caka dalam hati.
“Apakah ibu tidak apa-apa?” tanya Caka dengan lembut.
“Tidak nak, Cuma kaki ibu sulit digerakkan.”
Caka segera memeriksa kaki ibu tersebut. Ada luka disana. Selain itu juga di tangan kirinya mengeluarkan darah. Kebetulan di tas pramukanya terdapat obat-obatan dan perlengkapan untuk pertolongan pertama. Kebetulan acara latihan hari ini adalah bagaimana cara member pertolongan pertama pada kecelakaan.
Dengan cepat dan cekatan Caka membersihkan semua luka-luka itu lalu diberi obat merah dan dibalutnya dengan perban.
“Nak, bukankah kamu akan latihan pramuka? Bagaimana bila nanti terlambat?” tanya ibu tersebut.
“Ah tidak apa-apa bu, sekali-sekali kan boleh terlambat dan menolong orang lain kan lebih penting!” jawab Caka dengan senyum manis di bibirnya.
“Kamu memang anak baik nak, siapa namamu?”
“Caka, bu.”
“Baiklah Caka, ibu kini sudah agak baikan. Terima kasih atas pertolonganmu. Kini ibu akan pulang.”
“Saya panggilkan becak, ya bu? Ibu kan belum sembuh benar,” kata Caka.
Caka pun segera memanggil becak yang kebetulan lewat di depannya. Setelah becak berhenti, caka pun memapah ibu tersebut naik ke becak.
“terima kasih nak, terima kasih.” Ucap ibu tersebut dengan perasaan haru.
“sama-sama bu.”
Setelah berjabat tangan dan berpamitan, keduanya pun berlalu. Caka dengan cepat pun meraih sepeda ontanya. Dengan sekuat tenaga ia mengayuh sepeda.
Sampailah ia di sekolah. Teman-temannya sudah berkumpul dan berbaris rapi. Mereka sedang melakukan upacara pembukaan. Setelah Caka menempatkan sepeda, iapun berlari untuk melapor pada Kak Anto pembinanya.
“Maaf Kak saya terlambat,”ucap Caka dengan rasa takut.
“Kenapa kamu bisa terlambat?” Kak Anto menatap tajam kearah muka Caka.
“Aa…anu…Kak” Caka tergagap.
“Katakan dengan tegas!” bentak Kak Anto.

Caka hanya diam menunduk. Ia tak mau mengatakan yang sebenarnya, karena ia ingin perbuatan baiknya tak di ketahui oleh orang lain.

“Baiklah kalau kamu tetap diam, langsung saja kerjakan hukuman untuk orang terlambat. Kamu tahu kan?! Ayo kerjakan!”
Dengan disaksikan kakak pembina lain beserta rekan-rekan pramukanya, Caka segera mengarjakan hukuman tersebut.
Tetapi baru saja ia akan mulai, tiba-tiba ada seseorang yang datang sambil berteriak,
“Tunggu!”
Semua langsung tertuju pada suara itu yang ternyata Kak Fahri yang baru datang.
Kak Fahri adalah senior dari kakak-kakak pembina. Jadi ia tidak selalu datang di saat latihan. Kadang ia hanya mengontrol jalannya latihan di gudep ini.
“Rekan-rekan pramuka sekalian, memang sepintas Caka telah melakukan kesalahan, tapi kita harus tahu alasan dia dulu. Kak Fahri bisa bicara begini karena ku rasa Caka tak salah.”
“Perbuatan Caka perlu ditiru oleh adik-adikku pramuka yang lain,” kata Kak Fahri melanjutkan pembicaraan.
Mendengar pernyataan Kak Fahri tersebut, banyak diantara mereka yang mengerutkan dahi tanda tak mengerti. Kak Fahri pun menambahkan…
“Kalian harus tahu bahwa dalam perjalanannya tadi, Caka telah menolong ibu yang telah ditabrak sepeda motor. Adik-adik ternyata ibu tersebut adalah ibuku Dik.”
“Adik-adik pramuka yang kakak sayangi, bukan masalah terlambatnya yang perlu kalian tiru, tetapi kerelaan dan pengorbanan untuk menolong orang lain, walaupun dia harus dihukum karena terlambat. Inilah seorang pramuka sejati. Berani berkorban untuk kepentingan orang lain. Semoga kalian semua bisa seperti Caka dan kuucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada adikku Caka.”
Setelah Kak Fahri selesai berbicara semua pun bertepuk tangan tanpa disuruh. Dan Kak Anto lalu menjabat tangan Caka.
“Maaf, ya Cak,” kata Kak Anto.
“Ah, nggak apa-apa Kak!” jawab Caka dengan tersenyum.
Dalam hati Caka pun bangga. Ia bahagia bisa menjalankan kewajibannya sebagai pramuka dan ia berjanji akan selalu siap untuk menolong orang lain.

- Fita Permata Sari -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kota Kecil

Tanpa Nama